Minggu, 03 Juni 2012

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


A.    Pengertian Peradilan Agama dan Permasalahannya
Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Berkenaan dengan pengertian tersebut, maka pengadilan  merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan perkataan lain,  pengadilan adalah  badan peradilan  yang melaksanakan  kekuasaan kehakiman  untuk menegakkan  hukum dan keadilan. Dengan demikian,  peradilan agama dapat dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara di bidang:
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c.       Wakaf dan shadaqah.
Dalam kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling tergantung (interdependency) dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum, dan nilai-nilai hukum; bahkan berhubungan dengan penyuluhan hukum dan pendidikan hukum.
Dalam kehidupan masyarakat manusia, mulai dari komunitas kecil yang sederhana sampai dengan pergaulan antar bangsa, terdiri atas sekumpulan perseorangan atau kelompok (keluarga, marga, etnik, dan bangsa). Mereka memiliki kepribadian yang beraneka ragam. Demikian pula tradisi, kemampuan, keahlian, profesi, dan kepentingan mereka beraneka ragam. Bahkan dalam pergaulan antar bangsa mereka diatur dan diikat oleh hukum masing-masing negaranya. Keanekaragaman tersebut, dalam masyarakat-bangsa Indonesia, mencerminkan, masyarakat yang majemuk (pluralistic) baik secara vertikal maupun secara horizontal. Oleh karena itu, tatanan hukumnya pun bersifat majemuk.
Dalam penataan hubungan di antara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak. Dalam wujudnya kongkret patokan tingkah laku itu dikenal sebagai hukum, yang berfungsi sebagai pengendali masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman.
Oleh karena setiap orang atau kelompok memiliki kepribadian, tradisi, kemampuan, profesi, kepentingan, dan patokan tingkah laku yang beraneka ragam, maka hal itu dapat menjadi sumber perselisihan, pertentangan, persengketaan di antara mereka. Dalam kenyataannya terjadi perselisihan dan persengketaan, bahkan pelanggaran terhadap hukum yang telah disepakati. Salah satu pihak mengambil hak pihak lain. Salah satu pihak melakukan  tindakan yang merugikan pihak lain, baik secara fisik maupun material.
Berkenaan dengan hal itu, terdapat berbagai cara dan proses dalam penyelesaian perselisihan dan persengketaan tersebut. Cara pertama dilakukan oleh kedua belah pihak secara sukarela. Cara kedua dilakukan oleh kedua belah pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga sebagai perantara atau juru damai. Cara ketiga dilakukan secara paksa kepada kedua belah pihak oleh kekuasaan masyarakat atau kekuasaan negara.
Ketiga cara itu dipandang sebagai pilihan yang terbaik menurut nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian dilaksanakan secara terus-menerus, disosialisasikan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Kemudian mempola, memiliki prosedur, patokan dan sanksi, dan simbol-simbol tertentu. Akhirnya, cara-cara penyelesaian itu diterima dan dipatuhi oleh masyarakat, dan secara berangsur-angsur menjadi pranata sosial. Kemudian diorganisasikan dalam bentuk asosiasi, yang dilestarikan dan dikembangkan tatkala menghadapi perubahan masyarakat baik atas tuntutan dari dalam maupun atas tuntutan dari luar.
Cara pertama, selanjutnya menjadi pranata rujuk (rukun kembali) atau rekonsiliasi. Pranata itu digunakan dalam menyelesaikan perselisihan, pertentangan, dan persengketaan secara individual atau secara kolektif. Misalnya perselisihan  antara seorang  suami dengan seorang isteri; atau pertentangan  antar kelompok kepentingan tertentu. Dalam masyarakat-bangsa Indonesia, penyelesaian yang demikian itu biasanya didasarkan kepada semangat kerukunan dan saling menghormati, dua nilai budaya yang sangat diunggulkan, dan diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Dalam tradisi Islam, penyelesaian perselisihan dan persengketaan dengan mediasi dikenal sebagai tahkim, dengan hakam sebagai juru damai atau mediatornya. Paranata tahkim  itu memiliki landasan yang kuat di dalam Al-Qur’an (Surah Al-Nisa: 35).
Penyelesaian perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan negara dilaksanakan oleh badan peradilan, yang memiliki kemampuan untuk bertindak dan memaksakan keputusannya kepada para pihak dengan menggunakan sistem sanksi tertentu. Pranata peradilan itu amat dibutuhkan oleh masyarakat, apabila cara yang pertama dan cara kedua mengalami jalan buntu. Bahkan terhadap tindakan pelanggaran hukum dan kejahatan, peradilan merupakan satu-satunya pranata yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk menyelesaikannya.
Dalam penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat-bangsa, peradilan memiliki peranan yang menentukan. Tuntutan terhadap peranan yang dapat dimainkan oleh badan peradilan semakin meningkat, karena differensiasi keahlian dan profesi semakin beraneka ragam.
Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara itu. Sedangkan masyarakat Islam merupakan basis utama dalam melakukan artikulasi dan perumusan politik hukun di berbagai kawasan dan negara itu. Oleh karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan  yang beraneka ragam struktur, pola budaya, dan perkembangannya, maka pengorganisasian  peradilan Islam beraneka ragam pula. Namun demikian, ia mengacu kepada prinsip yang sama. Peradilan Islam pada masa Rasulullah Saw. bersifat  sederhana, baik dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Sedangkan ketika masyarakat Islam telah tersebar di berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathan, pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan pemerintahan (wilayat al-‘ammah), dan para hakim (al-qadhiy) diberi pedoman tentang pelaksanaan  tugas mereka, yang tercermin dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Risalat al-Qadha’ (Lihat: T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1970: 26-28). Perkembangan itu terus berlangsung pada masa Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Usmani, dan seterusnya hingga akhir abad keduapuluh.
Demikian halnya perkembangan pemikiran di bidang fiqh mengalami pasang surut dan berhubungan secara timbal balik dengan perkembangan masyarakat Islam. Para imam madzhab di kalangan sunni, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal; dan fuqaha generasi berikutnya, merumuskan aturan berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam melalui mekanisme ijtihad. Pemikiran itu dilakukan sebagai jawaban dan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, yang mengacu kepada Al-Qur’an, Sunah Rasul dan ijma’ sahabat.
Demikian halnya pemikiran mereka tentang penyelenggaraan pemerintahan dan peradilan, merupakan wujud ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya; dan ketaatan kepada Ulil Amri (Uli al-‘Amr), serta kewajiban membuat keputusan secara adil (Q.S. Al-Nisa: 58-59). Keputusan itu, wajib didasarkan kepada hukum yang diturunkan oleh Allah: ma anzal ‘l-lah (Q.S. Al-Maidah: 49). Ketentuan itu dijadikan rujukan utama dalam penyelenggaraan peradilan, dan telah menjadi ijma’ sahabat, yang menyatakan bahwa mendirikan peradilan merupakan kewajiban yang ditetapkan dan sunnah yang diikuti (faridhah muhkamah wasunnah muttaba’ah). Oleh karena itu, disusun berbagai rumusan dan patokan  tentang peradilan; dan muncul keragaman pemikiran (ikhtilaf) yang menjadi salah satu ciri  dalam bidang fiqh, yang oleh karena itu terdapat berbagai aliran pemikiran (madzhab).
Di negara-negara Islam produk pemikiran fuqaha itu dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan peradilan Islam. Di Saudi Arabia, misalnya, hukum yang berlaku secara resmi adalah hukum Islam (al-Tasyri al-Islamiy) yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Fiqh merupakan sumber utama dalam penerapan  hukum Islam di bidang hukum pidana (jinayah),  hukum perdata (madaniyah),  dan hukum dagang (tijarah). Sedangkan fiqh yang dianut di kerajaan itu adalah Madzhab Hambali. Oleh karena itu, dalam pengaturan berbagai aspek muamalah dan peradilan berpedoman kepada madzhab tersebut. Namun demikian, apabila dalam penerapan madzhab itu tidak dapat mencapai kemaslahatan, maka dapat berpedoman kepada madzhab Hanafi, atau madzhab Maliki, atau madzhab Syafi’i (al-Hafnawiy, t. th: 4 dan 26).
Di negara-negara yang penduduknya mayoritas bergama Islam, produk pemikiran fuqaha juga dijadikan rujukan. Di Indonesia, umpamanya, fiqh dari madzhab Syafi’i sangat dominan. Hal itu terlihat dalam surat Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pemruari 1958, yang isinya berupa anjuran kepada para hakim agar dalam memeriksa dalam memutus perkara berpedoman kepada 13 kitab fiqh. Dalam perkembangan lebih lanjut kitab-kitab fiqh yang dijadikan rujukan lebih bervariasi, sebagaimana terlihat di dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hasil lokakarya (ijma’) ulama dan mendapat legalisasi pemerintah (Presiden dan Manteri Agama) untuk disebarluaskan dan dilaksanakan, antara lain di pengadilan  dalam lingkungan peradilan agama. Oleh karena di Indonesia tidak dikenal agama negara, maka tidak ada pula madzhab yang resmi. Demikian halnya di Mesir dan di beberapa negara lain di Timur Tengah pengaruh pemikiran fuqaha dalam penyelenggaraan peradilan Islam sangat besar, khususnya di bidang hukum keluarga.
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam merupakan produk interaksi di dalam sistem sosial, termasuk dengan pranata peradilan yang “telah tersedia”. Salah satu unsur yang paling menentukan dalam proses itu adalah kemampuan dan peranan para pendukungnya, yaitu ulama dan anggota masyarakat Islam pada umumnya, dalam merumuskan dan menerapkan hukum Islam  dalam peraturan perundang-undangan (takhrij al-ahkam ‘ala al-nash al-qanun). Oleh karena itu, wujud dan perkembangan  peradilan Islam di berbagai negara memiliki corak yang beraneka ragam.
Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlangsung dalam jangka yang panjang, yaitu sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Salah satu produk  interaksi itu adalah Peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi disebut Peradilan Agama,  sebagai salah satu bagian dari peradilan negara. Dengan demikian, maka Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia.
Peradilan agama sebagai perwujudan peradilan Islam di Indonesia dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum yang ditegakkan adalah hukum Allah yang telah disistematisasi oleh manusia. Sedangkan keadilan yang ditegakkan adalah keadilan Allah, sebagaimana tercermin di dalam Kepala Keputusan Pengadilan, “Bismillahirrahmanirrahiim” dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama. Ketiga, secara historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw. Keempat, secara sosiologis Peradilan Agama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalam masayarakat Islam.

B.     Fungsi Peradilan Agama
Peradilan agama menyelenggarakan peradilan guna menegakkan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan peraturan atau seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman