A. Pengertian
Peradilan Agama dan Permasalahannya
Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum
dan keadilan.
Berkenaan
dengan pengertian tersebut, maka pengadilan merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan
perkataan lain, pengadilan adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, peradilan agama dapat dirumuskan sebagai kekuasaan
negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun yang
dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat,
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah.
Dalam
kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling
tergantung (interdependency) dengan pranata hukum lainnya, seperti
perangkat hukum (tertulis dan tidak tertulis), sistem hukuman, politik hukum,
dan nilai-nilai hukum; bahkan berhubungan dengan penyuluhan hukum dan
pendidikan hukum.
Dalam
kehidupan masyarakat manusia, mulai dari komunitas kecil yang sederhana sampai
dengan pergaulan antar bangsa, terdiri atas sekumpulan perseorangan atau
kelompok (keluarga, marga, etnik, dan bangsa). Mereka memiliki kepribadian yang
beraneka ragam. Demikian pula tradisi, kemampuan, keahlian, profesi, dan
kepentingan mereka beraneka ragam. Bahkan dalam pergaulan antar bangsa mereka
diatur dan diikat oleh hukum masing-masing negaranya. Keanekaragaman tersebut,
dalam masyarakat-bangsa Indonesia, mencerminkan, masyarakat yang majemuk (pluralistic)
baik secara vertikal maupun secara horizontal. Oleh karena itu, tatanan
hukumnya pun bersifat majemuk.
Dalam
penataan hubungan di antara anggota masyarakat manusia itu diperlukan patokan
tingkah laku yang disepakati bersama, yang bersumber kepada nilai-nilai budaya
yang dipatuhi dan mengikat kepada semua pihak. Dalam wujudnya kongkret patokan
tingkah laku itu dikenal sebagai hukum, yang berfungsi sebagai pengendali
masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman.
Oleh karena
setiap orang atau kelompok memiliki kepribadian, tradisi, kemampuan, profesi,
kepentingan, dan patokan tingkah laku yang beraneka ragam, maka hal itu dapat
menjadi sumber perselisihan, pertentangan, persengketaan di antara mereka.
Dalam kenyataannya terjadi perselisihan dan persengketaan, bahkan pelanggaran
terhadap hukum yang telah disepakati. Salah satu pihak mengambil hak pihak
lain. Salah satu pihak melakukan
tindakan yang merugikan pihak lain, baik secara fisik maupun material.
Berkenaan
dengan hal itu, terdapat berbagai cara dan proses dalam penyelesaian
perselisihan dan persengketaan tersebut. Cara pertama dilakukan oleh kedua
belah pihak secara sukarela. Cara kedua dilakukan oleh kedua belah pihak dengan
menggunakan jasa pihak ketiga sebagai perantara atau juru damai. Cara ketiga
dilakukan secara paksa kepada kedua belah pihak oleh kekuasaan masyarakat atau
kekuasaan negara.
Ketiga cara
itu dipandang sebagai pilihan yang terbaik menurut nilai budaya yang dianut
oleh masyarakat. Kemudian dilaksanakan secara terus-menerus, disosialisasikan
dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Kemudian mempola, memiliki
prosedur, patokan dan sanksi, dan simbol-simbol tertentu. Akhirnya, cara-cara
penyelesaian itu diterima dan dipatuhi oleh masyarakat, dan secara
berangsur-angsur menjadi pranata sosial. Kemudian diorganisasikan dalam bentuk
asosiasi, yang dilestarikan dan dikembangkan tatkala menghadapi perubahan
masyarakat baik atas tuntutan dari dalam maupun atas tuntutan dari luar.
Cara pertama,
selanjutnya menjadi pranata rujuk (rukun kembali) atau rekonsiliasi. Pranata
itu digunakan dalam menyelesaikan perselisihan, pertentangan, dan persengketaan
secara individual atau secara kolektif. Misalnya perselisihan antara seorang suami dengan seorang isteri; atau
pertentangan antar kelompok kepentingan
tertentu. Dalam masyarakat-bangsa Indonesia, penyelesaian yang demikian itu
biasanya didasarkan kepada semangat kerukunan dan saling menghormati, dua nilai
budaya yang sangat diunggulkan, dan diwariskan dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya.
Dalam tradisi
Islam, penyelesaian perselisihan dan persengketaan dengan mediasi dikenal
sebagai tahkim, dengan hakam sebagai juru damai atau mediatornya.
Paranata tahkim itu memiliki
landasan yang kuat di dalam Al-Qur’an (Surah Al-Nisa: 35).
Penyelesaian
perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan negara
dilaksanakan oleh badan peradilan, yang memiliki kemampuan untuk bertindak dan
memaksakan keputusannya kepada para pihak dengan menggunakan sistem sanksi
tertentu. Pranata peradilan itu amat dibutuhkan oleh masyarakat, apabila cara
yang pertama dan cara kedua mengalami jalan buntu. Bahkan terhadap tindakan
pelanggaran hukum dan kejahatan, peradilan merupakan satu-satunya pranata yang
memiliki kemampuan dan wewenang untuk menyelesaikannya.
Dalam
penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat-bangsa, peradilan memiliki peranan
yang menentukan. Tuntutan terhadap peranan yang dapat dimainkan oleh badan
peradilan semakin meningkat, karena differensiasi keahlian dan profesi semakin
beraneka ragam.
Peradilan
Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan
masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara itu. Sedangkan masyarakat Islam
merupakan basis utama dalam melakukan artikulasi dan perumusan politik hukun di
berbagai kawasan dan negara itu. Oleh karena masyarakat Islam tersebar di
berbagai kawasan yang beraneka ragam
struktur, pola budaya, dan perkembangannya, maka pengorganisasian peradilan Islam beraneka ragam pula. Namun
demikian, ia mengacu kepada prinsip yang sama. Peradilan Islam pada masa
Rasulullah Saw. bersifat sederhana, baik
dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Sedangkan ketika masyarakat Islam
telah tersebar di berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathan,
pengorganisasiannya dikembangkan. Peradilan mulai dipisahkan dari kekuasaan
pemerintahan (wilayat al-‘ammah), dan para hakim (al-qadhiy)
diberi pedoman tentang pelaksanaan tugas
mereka, yang tercermin dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Risalat
al-Qadha’ (Lihat: T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1970: 26-28). Perkembangan itu
terus berlangsung pada masa Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki
Usmani, dan seterusnya hingga akhir abad keduapuluh.
Demikian
halnya perkembangan pemikiran di bidang fiqh mengalami pasang surut dan
berhubungan secara timbal balik dengan perkembangan masyarakat Islam. Para imam
madzhab di kalangan sunni, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal; dan fuqaha generasi berikutnya, merumuskan aturan berbagai
aspek kehidupan masyarakat Islam melalui mekanisme ijtihad. Pemikiran itu
dilakukan sebagai jawaban dan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, yang
mengacu kepada Al-Qur’an, Sunah Rasul dan ijma’ sahabat.
Demikian
halnya pemikiran mereka tentang penyelenggaraan pemerintahan dan peradilan,
merupakan wujud ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya; dan ketaatan kepada
Ulil Amri (Uli al-‘Amr), serta kewajiban membuat keputusan secara adil
(Q.S. Al-Nisa: 58-59). Keputusan itu, wajib didasarkan kepada hukum yang
diturunkan oleh Allah: ma anzal ‘l-lah (Q.S. Al-Maidah: 49). Ketentuan
itu dijadikan rujukan utama dalam penyelenggaraan peradilan, dan telah menjadi
ijma’ sahabat, yang menyatakan bahwa mendirikan peradilan merupakan kewajiban
yang ditetapkan dan sunnah yang diikuti (faridhah muhkamah wasunnah
muttaba’ah). Oleh karena itu, disusun berbagai rumusan dan patokan tentang peradilan; dan muncul keragaman
pemikiran (ikhtilaf) yang menjadi salah satu ciri dalam bidang fiqh, yang oleh karena itu
terdapat berbagai aliran pemikiran (madzhab).
Di
negara-negara Islam produk pemikiran fuqaha itu dijadikan rujukan dalam
penyelenggaraan peradilan Islam. Di Saudi Arabia, misalnya, hukum yang berlaku
secara resmi adalah hukum Islam (al-Tasyri al-Islamiy) yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Fiqh merupakan sumber utama dalam
penerapan hukum Islam di bidang hukum
pidana (jinayah), hukum perdata (madaniyah),
dan hukum dagang (tijarah).
Sedangkan fiqh yang dianut di kerajaan itu adalah Madzhab Hambali. Oleh karena
itu, dalam pengaturan berbagai aspek muamalah dan peradilan berpedoman kepada
madzhab tersebut. Namun demikian, apabila dalam penerapan madzhab itu tidak
dapat mencapai kemaslahatan, maka dapat berpedoman kepada madzhab Hanafi, atau
madzhab Maliki, atau madzhab Syafi’i (al-Hafnawiy, t. th: 4 dan 26).
Di
negara-negara yang penduduknya mayoritas bergama Islam, produk pemikiran fuqaha
juga dijadikan rujukan. Di Indonesia, umpamanya, fiqh dari madzhab Syafi’i
sangat dominan. Hal itu terlihat dalam surat Edaran Biro Peradilan Agama Nomor
B/1/735 tanggal 18 Pemruari 1958, yang isinya berupa anjuran kepada para hakim
agar dalam memeriksa dalam memutus perkara berpedoman kepada 13 kitab fiqh. Dalam
perkembangan lebih lanjut kitab-kitab fiqh yang dijadikan rujukan lebih
bervariasi, sebagaimana terlihat di dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
hasil lokakarya (ijma’) ulama dan mendapat legalisasi pemerintah (Presiden dan
Manteri Agama) untuk disebarluaskan dan dilaksanakan, antara lain di
pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama. Oleh karena di Indonesia tidak dikenal agama negara, maka tidak ada pula
madzhab yang resmi. Demikian halnya di Mesir dan di beberapa negara lain di
Timur Tengah pengaruh pemikiran fuqaha dalam penyelenggaraan peradilan Islam
sangat besar, khususnya di bidang hukum keluarga.
Pertumbuhan
dan perkembangan peradilan Islam merupakan produk interaksi di dalam sistem
sosial, termasuk dengan pranata peradilan yang “telah tersedia”. Salah satu
unsur yang paling menentukan dalam proses itu adalah kemampuan dan peranan para
pendukungnya, yaitu ulama dan anggota masyarakat Islam pada umumnya, dalam
merumuskan dan menerapkan hukum Islam
dalam peraturan perundang-undangan (takhrij al-ahkam ‘ala al-nash
al-qanun). Oleh karena itu, wujud dan perkembangan peradilan Islam di berbagai negara memiliki
corak yang beraneka ragam.
Proses
interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlangsung
dalam jangka yang panjang, yaitu sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan
politik pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Salah satu produk interaksi itu adalah Peradilan Islam di
Indonesia, yang secara resmi disebut Peradilan Agama, sebagai salah satu bagian dari peradilan
negara. Dengan demikian, maka Peradilan Agama adalah Peradilan Islam
di Indonesia.
Peradilan
agama sebagai perwujudan peradilan Islam di Indonesia dilihat dari beberapa
sudut pandang. Pertama, secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hukum yang ditegakkan adalah hukum Allah
yang telah disistematisasi oleh manusia. Sedangkan keadilan yang ditegakkan
adalah keadilan Allah, sebagaimana tercermin di dalam Kepala Keputusan
Pengadilan, “Bismillahirrahmanirrahiim” dan “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, secara yuridis hukum Islam (di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah) berlaku di pengadilan
dalam lingkungan peradilan Agama. Ketiga, secara historis peradilan agama
merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungan sejak
masa Rasulullah Saw. Keempat, secara sosiologis Peradilan Agama didukung dan
dikembangkan oleh dan di dalam masayarakat Islam.
B. Fungsi Peradilan
Agama
Peradilan
agama menyelenggarakan peradilan guna menegakkan tugas pokok untuk menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya berdasarkan peraturan atau seperti yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar