1. Pengertian Pemimpin
Yang dimaksud dengan pemimpin adalah orang yang diangkat menjadi pemegang (pemimpin) pemerintahan. Setelah Nabi Muhammad SAW Wafat, maka pemerintahan Islam di pegang oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Keempat sahabat ini disebut khulafaurrasyidin. Setelah mereka wafat, maka digantikan oleh para penerusnya.
2. Hukum pengangkatan dan pemilihan pemimpin
Hukum pengangkatan pemimpin di antara kaum muslimin adalah fardhu kifayah bagi seluruh kaum muslimin. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 55, yang berbunyi:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَااسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَيُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {55}
Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan namal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”
Imam Abu Ya’la Muhammad Ibn Husain Al-Fara Al-Hanbali (380 H-458 H) menyatakan bahwa hukum memilih imam (pemimpin Negara) adalah wajib. Pendapat Abu Ya’la tersebut didasarkan kepada pendapat Imam Ahmad dalam suatu riwayat yang menyatakan bahwa adalah suatu fitnah apabila tidak ada imam yang mengatur urusan umat manusia. Kewajiban adanya pemimpin Negara menurut Abu Ya’la adalah didasarkan pada al-sam’u, artinya berdasarkan pada apa yang dinyatakan Al-Quran dan hadits, bukan berdasarkan pertimbangan rasional. Soalnya dalam hal ini, akal tidak mampu mengetahui apakah sesuatu itu wajib, mubah, atau haram. Adapun jenis wajibnya adalah wajib kifayah. Kewajiban inipun hanya dikhithabkan kepada dua kelompok. Pertama, kepada ahli ijtihad karena mereka yang mempunyai hak memilih. Kedua, kepada calon pemimpin (orang yang memenuhi syarat menjadi imam).
3. Syarat-syarat Pemimpin dan Ahli Ijtihad
Calon pemimpin, menurut Abu Ya’la, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pemimpin Negara harus dating dari suku Quraisy, sebagaimaa perna dinyatakan oleh Imam Ahmad, “Tidak ada seorang khalifah, selain sukuk Quraisy”. Oleh karena itu kalangan yang datang belakangan, “Suku Quraisy” ini ditafsirkan sebagai mayoritas.
b. Pemimpin harus orang yang mempunyai sifat sebagaimana sifat yang dimilki oleh seorang hakim: bebas dari tekanan intervensi, dewasa, berakal, memilki wawasan keilmuan, dan adil.
c. Pemimpin adalah orang yang mampu memegang komando perang dan persoalan politik lainnya.
d. Seorang pemimpin harus merupakan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan agama yang tinggi.
Ahli ijtihad harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Al’adalah (keadilan).
b. Memiliki pengetahuan yang bias membantunya mengetahui siapa yang palin g berhak menjadi imam.
c. Memiliki kemampuan rasional dan berpikiran ke depan untuk memilih siapa yang paling baik (ahlah) menjadi pemimpin.
B. KEPEMIMPINAN WANITA
1. Ulama yang mengharamkan
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah di muka bumi. Akhir surat Al-Ahzab mempertegas kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah SWT untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia-tidak berbeda antara perempuan dengan laki-laki. Ini yang di dalam hokum Islam disebut taqlidiyyah. Di situ disebutkan setiap orang adalah mukallaf (penerima amanat). Mengenai status kekhalifahan tadi, Rasulullah SAW menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpin (“Kalian semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”). Islam mengangkat derajat manusia danmemberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin. Di antara masalah yang kerap menjadi bahan perbincangan seputar kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan ini yaitu masalah “kepemimpinan”. Islam menegaskan bahwa kepemimpinan ada di tangan kaum pria. Allah SWT berfirman :
… الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari kekayaan mereka…”
Dalam hal ini perkataan “qawwamum” bukan berarti penguasa atau majikan, tetapi dalam pengertian bahwa suami adalah kepala keluarga. Sedangkan perempuan adalah pemimpin rumah tangga.Ini jika kita berbicara tentang kepemimpin di dalam lembaga perkawinan. Namun jika berbicara tentang kepemimpinan dalam dunia politik, maka kepemimpinan perempuan biasanya hal yang sering dipersoalkan bahkan ditolak pada beberapa kalangan. Pandangan yang menyatakan bahwa penolakan kepemimpinan wanita sebagai upaya mendeskreditkan wanita telah berangkat dari perspektif gender. Yakni satu pandangan yang didasari oleh ide persamaan hak antara pria dan wanita dalam segala bidang termasuk politik terutama tentang kepresidenan wanita.
Pandangan ini telah meniadakan peran agama (Islam) sebagai aturan dalam kehidupan termasuk dalam memandang persoalan. Dan pandangan ini lebih tepat disebut dengan pandangan sekuler (pandangan yang memisahkan agama antara agama dan kehidupan). Sehingga wajar apabila keberadaan agama yang mengatur tentang kepemimpinan wanita tidak akan menyudutkan wanita.
Namun bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim memandang persoalan ini? Kacamata apakah yang akan digunakan? Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandang menghadapi dan menyelesaikans egala persoalan. Di mana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khazanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujtahid empat mazhab telah bersepakat mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Jami’liahkamil Qur’an mengatakan:
“Khalifah (kepala negara) haruslah seorang laki-laki dan para fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi Imam (Khalifah/kepala negara).”
Secara rinci terdapat sejumlah argumen (dalil) haramnya wanita menjadi kepala negara (dalam tinjauan syari’ah):
Pertama terdapat hadis shohih yang melarang wanita sebagai kepala negara: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” (HR.Bukhori). Lafadz “wallau amrohum” dalam hadis ini berarti mengangkat seseorang sebagai waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan). Sekalipun teks hadis ini berupa khobar atau kalimat berita, namun mengandung celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada seorang wanita berupa ancaman tiadanya keberuntungan atasmereka. Celaan ini merupakan qorinah (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat jazm (pasti).
Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara pasti adalah hukumnya adalah haram. Memang ada sebagian kalangan yang meragukan keshohihan hadis ini dengan dalih adanya seorang perawi yakni Abu Bakrah sebagai orang yang tidak layak dipercaya dikarenakan telah memberikan kesaksian palsu dalam perzinahan di masa Umar bin Khattab. Namun dari hasil pengkajian ahli hadis terhadap sosok Abu Bakrah bias dilihat dalam kitab-kitab tentang perawi di antaranya Tahdibul kamal fil asmairijal, Thobaqot ibnu Saad, Al Kamil fi Taikh Ibnu Atsir, menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah sahabat yang alim dan terpercaya. Oleh karena itu dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadis tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Di samping itu ada juga kalangan yang beranggapan bahwa jabatan presiden tidak sama dnegan jabatan kepala negara dalam Islam. Apabila kita cermati pendapat ini sangatlah lemah. Sebab teks hadis di atas dengan sendirinya telah menjawab bahwa Buran, Putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam kekaisaran Parsi, yang ternyata sistem ini berbeda dengan Islam. Sehingga kalaulah dalam kasus Buran, Rasulullah SAW mengharamkannya menjadi kepala pemerintahan, maka tidaklah beda dengan sistem presiden sekarang yang sama-sama bukan system Islam.
Kedua di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara, Q.S An-Nisa’ ayat 59 yang artinya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ...{59}
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil Amri di antara kamu.”
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafaz ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab maka bias dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin wanita maka seharusnya menggunakan lafaz Uulatul Amri. Perlu untuk diketahui di antara perkara yang hukumnya dijelaskan oleh syariah Islam adalah mengenai syarat-syarat kepala negara. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nizhamul Hukm fi Islam, menulis bahwa ada tujuh syarat in’iqad (syarat mutlak) yang harus dipenuhi oleh seorang calon khalifah sebagai kepala negara kaum Muslimin,yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal,adil, merdeka dan mampu.Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian hukum dari nash-nash syara’. Mengenai syarat laki-laki, Imam Al Qalqasyandi dalam Kitab Maatsirul Inafah ila Ma’aalimil Khilafah Juz I/31, mengatakan bahwa syarat sahnya aqad khilafah menurut para fuqoha Mazhab Syafi’i, yang pertama adalah laki-laki. Tidak terjadi aqad manakala diberikan kepada seorang wanita. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari sahabat Abu Bakrah r.a. yang menyatakan bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia kepaa seorang putri Kisra yang bernama Buran sebagai ratu setelah bapaknya meninggal, Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) mereka kepada seorang wanita.” (HR.Bukhari)
2. Ulama yang membolehkan
Kebanyakan ulama, terutama fuqaha (juris Islam), cenderung melarang perempuan menjadi seorang pemimpin, terutama pemimpin Negara yang lazim disebut presiden, berdasarkan firman Allah SWT “Ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’”. Artinya; “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”. Mereka memahami ayat tersebut secara tekstual, yaitu bahwa istilah pemimpin tidak hanya menyangkut hubungan suami isteri belaka, melainkan juga mencakup kepemimpinan dalam suatu Negara yang melibatkan masyarakat luas. Karena itu, merekapun menganggap hanya kaum laki-lakilah yang berhak menjadi pemimpin Negara semisal presiden.
Secara historis menurut Imam Abul hasan Ali Ibn Ahmad Al-Wahidi (w. 468 H) asbab an-nuzul (sebab-sebab turunyya) ayat tersebut bermula dari kisah Sa’ad Ibn Rabi’, seorang pembesar golongan Anshor. Diriwayatkan bahwa isterinya (Habibah bintu Zaid ibn Abi Hurairah) telah berbuat nyusus (membangkang atau menolak ajakan Sa’ud untuk berhubungan badan) sehingga nia ditampar oleh Sa’ad. Peistiwa itu kemudian berbuntut pada pebgaduan habibah kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian beliaupun memutuskan untuk meng-qishash (menghukum) Sa’ad. Tetapi ketiak Habibah beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melaksanakan qishash, Nabi Muhammad SAW memanggil keduanya lagi, seraya menceritakan ayat yang baru saja turun melalui Jibril, “rijalu qawwamuna ‘alan-nisa’”. Maka qishash-pun dibatalkan.
Dari peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa pemakaian ayat 34 surat An-Nisa’ itu dalam rangka mengharamkan kepemimpinan perempuan dalam rangka urusan suami isteri jelas memiliki pijakan argumentasi yang lemah. Apalagi ayat tersebut juga bukan berupa kalimat instruksi (amr), tetapi hanya khabariyah (berita), sehingga kurang tepat bila dijadikan legitimasi dasar penentuan hukum wajib ataupun haram menyangkut status kepemimpinan seorang perempuan.
Sedangkan hadits Shahih yang berbunyi: “Lan yaufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”, yang artinya; ”Tidaka akan sejahtera suatu masyarakat yang melimpahkan mandatnya (mengankat/memilih pemimpin kepada seorang perempuan).
Jika ditelususri asbabu wurudil hadisnya (sebab-sebab munculnya hadis), menurut Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam karyanya Fathul bari, bermula dari kisah Abdullah Ibn Hudzafah, kurir Rasulullah SAW yang menyampaikan surat beliau yang berisi seruan masuk islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Persia beragama Majusi, yang ternyata ajakan tersebut ditanggapinya secara sinis dengan merobek-robek surat yang dikirim rasulullah itu. Dari laporan tersebut Rasulullah SAW memilki firasat imperium Persia kelak dan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat beliau, yang tak lama kemudian firasat itu terbukti, hingga tahta kerajaannya kemudian diserahkan kepada puteri Kisro yang benama Buran. Mendengar relaitas megeri Persia yang dipimpin oleh seorang perempuan itu, Nabi Muhammad SAW pun berkomentar: “Lan yufliha qaumun wallau amruhum imra’atan”.
Komentar beliau ini tentu saja cukup beralasan, bahkan sangat tepat, jika dikaitkan dengan konteks-konteks masalah kepemimpinan Persia saat itu, karena kemampuan Buran yang memang lemah dibidang kepemimpinan. Hanya saja, yang perlu dipahami adalah bahwa konteks pembicaraan Nabi bukanlah meliputi seluruh fenomena kepemimpinan perempuan secara umum dan universal. Tatapi hanya tertuju kepada Ratu Buran, puteri Anusyirwan,, yang kualitas kepemimpinannya snagat rendah. Terlebih di tengah percatiran politik Timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Dari aspek substansi nash sama halnya dengan sinyalemen ayat 34 surat An-Nisa’ hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas juga bukan kalimat nahiy (larangan), tetapi hanya khabariyah (berita), sehingga hukum haram yang yang dilekatkan pada kepemimpinan perempuan , yang disandarkan pada hadis itu manjadi tidak relevan. Maka tidaklah aneh jika Ibn Jarir Al-Thabari menandaskan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah sbuah mani’ (penghalang) dalam perspektif hukum Islam. Penadapat ini diperkuat pula sebagian ulama Makkiyah (Pengikut Madzhab Imam Malik Anas) yang kerap merujuk pada kepemimpinan Ratu Syajaratud-Dur di Mesir zaman dulu.
Selain itu pada masa Nabi Sulaiman, ada negeri diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam Al-Quran yang dikenal “baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang adil, makmur, aman dan sentosa) yaitu negeri Saba’. Negeri ini ternyata dipimpin oleh seorang penguasa perempuan, Ratu Bilqis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar